Jumat, 16 Mei 2014

Semangat Tunas Merah Putih di Pelosok Manggarai (SM3T)



Bangun pagi itu aku merasa kepalaku sedikit pening, mungkin karena lambat tidur malam tadi. Hari ini merupakan hari pertamaku di Kampung Wangkal, sebuah kampung yang berada di bukit di atas awan.
Pertama kali memasuki kampung ini ada perasaan takut, namun ketakutan itu hilang ketika melihat wajah anak-anak polos khas anak gunung. Mereka menyambut kedatanganku penuh antusias dengan logat khas manggarainya. Inilah penempatan tugasku selama satu tahun ke depan, di SDI Wangkal, Dusun Wangkal, Desa Kajong, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai, NTT.
Aku merupakan sarjana muda yang baru lulus dari sebuah Universitas Negeri di Kota Malang, dengan segala tekad aku mengikuti program SM3T, sebuah program dari dikti yang bertujuan untuk pemerataan pendidikan di Indonesia. Banyak teman-teman yang ditempatkan di pelosok nusantara yang berstatus 3T, yaitu terdepan, terluar, dan tertinggal.
Nah, itu merupakan sedikit perkenalanku. Kita kembali ke tempat penugasanku, Kampung Wangkal. Rumah kayu yang sudah berumur lebih dari 20 tahun merupakan tempat tinggalku sehari-hari di sini. Sudah kebiasaan ketika malam datang keadaan rumah seperti berada di kebun binatang, banyak tikus, tokek, cicak, tawon, bahkan kalajengking dan ular berkeliaran mencari makan. Lubang-lubang di lantai merupakan ulah si tikus sialan, kenapa sampai aku sebut tikus sialan, itu karena meskipun lubang-lubang ditutup lagi dengan tanah, pasti keesokan harinya berlubang lagi.
Kampung Wangkal merupakan daerah yang cukup terisolir, akses jalan menuju kampung ini harus dilalui dengan jalan kaki tidak bisa menggunakan motor dengan jarak sepanjang 7,4 km, belum lagi jalannya yang menurun dan mendaki penuh dengan bebatuan, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Kampung Wangkal kira-kira bisa mencapai 2 jam. Keadaan listrik juga cukup memprihatinkan, kebutuhan listrik hanya terpenuhi pada jam 7 malam sampai jam 10 malam dengan menggunakan mesin diesel atau ganset, lebih banyak padam ketimbang menyala, hal ini dikarenakan tidak adanya solar. Beruntung ada 2 teman guru yang tinggal serumah denganku, sehingga waktu malam rasa kesepian berkurang. Teman guru yang pertama panggilannya Pak Jon, seorang guru SD yang sudah berumur setengah abad lebih, namun rambutnya tetap hitam tanpa uban. Beliaulah yang selalu memberikan wejangan atau nasehat. Beliau juga pintar dalam membuat pantun-pantun nasehat untukku.
Ikan Teri dari keramat,
Ikan di ikat dua berdua.
Jika diri hendak selamat,
Turuti nasehat orang tua.

Mandi air di Sungai Damar,
Lupa kain baju di atas batu.
Biar Pak Yudha sudah di kampung halaman,
Dalam doa kita tetap jumpa selalu.
Itulah pantun yang selalu kutanamkan di dalam hatiku, terutama pantun yang pertama. Beliau bukan orang asli Manggarai, namun orang asli dari Lembata, daerah timur Pulau Flores. Dengan gaya khas logat Lembata campur bahasa Manggarai dia pandai membuat orang-orang terhibur bahkan sampai tertawa terbahak-bahak.Teman guru yang kedua panggilannya Pak Dinus, beliaulah orang yang paling dihormati di SDI Wangkal, ingin tahu kenapa, karena dia merupakan kepala sekolah. Kepala sekolah termuda se-Kecamatan Reok Barat, dengan sosok bawaan pendiam dia memimpin dan mengatur SDI Wangkal. Meskipun terlihat pendiam, \dalam keadaan diam itulah dia berpikir serius, kedisiplinan menjadi andalan utamanya, sehingga bisa di tebak siapa yang paling cepat bangun pagi di rumah sekolah ini. Itulah dua guru yang mengisi keseharianku di rumah dinas sekolah.
Pak Dinus dan Pak Jon juga tidak setiap satu minggu di rumah dinas sekolah, karena mereka juga punya keluarga. Setiap hari kamis sore atau jumat sore mereka turun gunung dan kembali lagi hari senin pagi, sedangkan aku setiap dua minggu sekali turun gunung pada hari kamis sore untuk melakukan ibadah sholat jumat di  Kecamatan Reo. Dalam keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh anak-anak didikku untuk menginap di rumah sekolah. Mereka selalu memintaku untuk menginap di rumah sekolah, tentunya harus anak laki-laki yang menginap. Salah satunya adalah anak seorang ketua Lumpung Wangkal, Simon namanya. Dia seharusnya sudah duduk di bangku SMP, tapi sampai sekarang masih kelas 4 SD, hmm itulah sakah satu gambaran pendidikan di sini. Hal itu dikarenakan mereka telat masuk sekolah dasar atau juga kebanyakan tidak naik kelas.
Di atas rumahku terdapat rumah yang tidak kalah tua dengan rumahku. Rumah yang reot itu merupakan rumah teman guru yang mengajar kelas 1 dan kelas 2. Panggilannya Pak Anton, beliau merupakan sosok yang sederhana lagi bersahaja. Sering aku pesiar ke rumah Pak Anton untuk sekedar main-main atau minum kopi. Di belakang rumah reot itu juga terdapat tempat untuk mandi, tempat mandi yang terbuat dari bambu yang dibelah-belah kecil dan lantainya juga terbuat dari bambu yang dibelah menjadi dua bagian. Air di tempat mandi ini mengalir terus yang berasal dari sumber air gunung, di sinilah tempat mandiku sehari-hari.
Pagi ini merupakan pagi yang cerah di Kampung Wangkal. Burung-burung berkicau di atas pohon kemiri dengan silih berganti serasa mereka memanggilku untuk segera bergegas menuju sekolah. “Ah, aku belum mandi dan sarapan, oh iya pagi ini kan giliran Pak Dinus masak, langsung mandi sajalah”, Pikirku dalam hati. Kita menggunakan sistem bergilir untuk memasak, aku mendapat jatah memasak setiap hari Rabu dan Jumat, sedangkan Pak Jon setiap hari Senin dan Selasa. Kalau mereka tidak ada di rumah akau terpaksa masak sendiri atau numpang ke rumah tetangga.
Sekolah masih sepi, anak-anak sudah terbiasa masuk jam setengah delapan, padahal jam masuk sekolah jam tujuh. Maklumlah di sini merupakan daerah pegunungan, jadi harus ditempuh dengan jalan kaki. Aku merasa kasihan kepada anak-anak didikku yang tempat tinggalnya dari kampung sebelah, yaitu Kampung Kalo dan Mbang. Mereka membutuhkan waktu kira-kira hampir satu jam untuk sampai di sekolah. Aku sungguh bangga terhadap anak-anak di sini, meskipun jarak yang di tempuh ke sekolah cukup jauhdengan tiap langkah harus menuruni dan mendaki bukit-bukit, tetapi semangat mereka untuk memperoleh ilmu sangat luar biasa.
Lonceng sekolah yang terbuat dari besi tua bekas penyangga atap sekolah telah dibunyikan, anak-anak mulai bersiap untuk melakukan kegiatan senam pagi. Senam ini namanya senam SRAI yang kepanjangannya Senam Ria Anak Indonesia. Mereka menyerukan aba-aba dengan sangat lantang, wajarlah di sini tidak ada listrik di pagi hari untuk menghidupkan tape.
Senam pagi telah usai, anak-anak langsung berlarian masuk di kelasnya masing-masing. “Selamat pagi pak”, Suara salam dari anak-anak dengan keras dan serentak. “ Iya selamat pagi”, Jawabku. Sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, anak-anak didikku sudah mengetahui apa yang harus dilakukakan, tidak perlu menunggu perintah dariku. Marilah kita berdoa, dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, amin. Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertaMu terpujilah engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuhmu Yesus Santa Maria Bunda Allah doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan pada waktu kami mati. Amin..Doa itu merupakan doa umat Katholik. Penduduk di sini semua beragama Katholik, kecuali aku. Meskipun agamaku lain dari penduduk di sini, mereka sangat menghormatiku. Nah, itulah Indonesia, nilai toleransi antar umat beragama sangatlah dijunjung tinggi.
Dalam kegiatan belajar di sekolah, siswa haruslah mentaati peraturan yang berlaku, seperti memakai seragam lengkap, baju seragam dimasukkan ke celana dengan ikat pinggang melingkar di atas pinggang, dasi harus terpasang di kerah baju, topi juga harus dipakai waktu di luar ruangan kelas, dan yang terakhir adalah sepatu dan kaos kaki. Hal itu merupakan pemandangan umum jika kita melihat sekolah-sekolah di jawa. Namun lain halnya dengan di sini, banyak kulihat anak-anak didikku memakai seragam yang sudah kumal dan lusuh. Mungkin hampir satu minggu tidak dicuci, bahkan ada sobekan yang belum dijahit. Ikat pinggang, dasi, dan topi terasa asing bagi mereka, mereka tidak pernah memakai barang-barang itu, apalagi sepatu. Di kelasku terlihat semua siswa memakai sandal jepit yang sudah terlihat kotor terkena lumpur karena hujan tadi malam, tidak sedikit juga yang tidak memakai sandal jepit, mungkin karena belum punya uang untuk membelinya. Itulah sekilas pemandangan yang kutemui di kelas IV, tidak jauh berbeda dengan kelas-kelas yang lain.
Pembelajaran IPA hari ini aku selingi dengan kuis, anak-anak yang menjawab salah, harus menyanyi di depan kelas. Kali ini giliran anak didikku yang namanya mirip sebuah nama acara kontes menyanyi di salah satu stasiun televisi swasta, Avi namanya. Dengan tubuh kecilnya dia menjawab dengan lantang, “Angin darat pak”, Jawab Avi. Namun jawabannya masih salah, “Jawaban yang benar adalah angin laut, Avi”, Jawabku. Untuk hukumannya, maka Avi harus menyanyikan sebuah lagu di depan kelas. “Menyanyikan lagu apa Avi?”, Tanyaku. “Danong Aku Lako Pak”, Jawab Avi. Lagu tersebut mempunyai arti nama aku pergi, kisah seorang yang sedang merantau, lagu ini merupakan lagu asli Manggarai dengan penyanyi aslinya Rensi Ambang. Walaupun mempunyai tubuh kecil, suaranya terdengar merdu sekali, tidak kalah dengan peserta kontes menyayi yang ada di televise-televisi.
Bendera yang berkibar di tiang bendera telah diturnkan, itu merupakan tanda bahwa kegiatan belajar
mengajar telah usai, tidak lama kemudian lonceng sekolah juga berbunyi. Semua siswa  bersiap-siap untuk pulang, sama seperti awal pembelajaran yang dibuka dengan doa, maka setelah kegiatan selesai juga harus ditutup dengan doa. Sebelum aku keluar ruangan kelas ada beberapa anak yang menghampiriku. “Pak nanti ke way damar ya!”, Kata anak-anak itu. “Ngapain ke sana”, Jawabku. “Pande sampan Pak dari munak muku”, jawab mereka. Mereka adalah Wawan, Simon, Avi, dan Gebi. Mereka mengajakku pergi ke Sungai Damar untuk membuat sampan dari batang pisang. Setiap pulang sekolah, mereka selalu mengajakku lako-lako. Kali ini bermain sampan dari batang pisang. Batang pisang yang digunakan bukan batang pisang yang dapat berbuah, melainkan batang pisang yang tidak ada buahnya, namamya “pukukui”, itu merupakan bahasa manggarainya. Sungai di sini sangatlah jernih, meskipun tidak ada peringatan untuk membuang sampah atau larangan buang air besar di sungai, mereka sudah mengetahuinya. Mereka percaya bahwa ada “ata jaga way” di sungai, yang mempunyai arti bahwa di setiap sungai ada penjaganya.
Sampai juga akhirnya di bawah jembatan Sungai Damar, setelah mengarungi kelokan-kelokan sungai yang berbatu. Di sini merupakan tempat berenang yang paling asik, sungai yang tidak terlalu dalam, tepat sebahu orang dewasa, membuat kita berlama-lama berenang di sini. “Simon, setelah ini enaknya kita kemana lagi?”, Tanyaku. “Lihat pande gula malang pak di Sari Om Frans”, jawab Simon. “Oke, ayo kita ke sana”, Jawabku. Kita akan melihat cara membuat gula merah. Gula merah ini terbuat dari Nira Pohon Enau atau aren. Kebetulan Om Frans sedang membuat gula merah di Sarinya. Sari merupakan sebuah tempat untuk membuat gula merah di Manggarai. Ternyata anak-anak di sini sudah begitu mahir dalam membuat gula merah, itu kulihat dari Si Gebi, dia sedang membantu mengaduk-aduk air nira yang sedang di rebus. Bukan hanya pengetahuan yang di dapat dari sekolah saja yang mereka kuasai, keterampilan-keterampilan seperti ini ternyata mereka kuasai juga, sungguh luar biasa anak-anak ini, itupun belum keterampilan-keterampilan yang lainnya lagi. “ Masih lama ya jadinya ini om?” Tanyaku. “ Ya, masih lama kira-kira 2 jam Pak Yu”, jawab Om Frans. Proses merebus nira hingga siap untuk masuk ke cetakan memang begitu lama kira-kira membutuhkan waktu 2 jam.
Hari sudah menjelang sore, matahari mulai perlahan bersembunyi ke peraduannya. “Om kita pulang dulu, sudah menjelang sore ini!”, Aku berpamitan ke Om Frans. “Iya Pak Yu, ini bawa di rumah”, Kata Om Frans. “Wah, terimakasih om”, Jawabku. bersyukur sekali mendapatkan dua batang gula merah, inilah orang-orang Manggarai. Jika kita rajin pesiar-pesiar pasti pulangnya mendapatkan buah tangan.
Sampai menuruni jembatan kita bertemu dengan Pak Ven. Dia merupakan teman guru yang paling muda diantara guru yang lain, sekarang dia juga masih menempuh gelar S1 nya di salah satu perguruan tinggi swasta di Ruteng. “Ngoniya ite ko, Pak Ven?”, Tanyaku dengan bahasa Manggarai. “Ngo Pekang Tuna, Pak Yu mau ikutkah?” Jawab Pak Ven. “Nia ko?”, Tanyaku balik. “Wa mai jembatan hio”, jawab Pak Ven balik. “Okelah, aku ikut”, Jawabku dengan senang. Ternyata Pak Ven akan pergi memancing belut di bawah jembatan. Cara memancingnya tidak seperti cara memancing ikan seperti pada umumnya, untuk memancing belut harus menggunakan umpan katak atau cacing besar. Oh iya cacing-cacing di sini besar-besar lho, besarnya kira-kira sebesar jari manis. Senar dankail yang digunakan juga agak besar. Peralatan dan umpannya saja besar, apalagi belutnya. Belut di sini juga besar-besar, yang paling besar kira-kira bisa mencapai paha orang dewasa. Senar dikaitkan di akar-akar pohon atau bebatuan agar tidak terbawa arus air. Kita tidak perlu menunggu di tempat mancing. Setelah semua pekang terpasang, kita tinggal pulang saja, keesokan harinya barulah bisa dilihat hasinya. “Pak Ven sudah selesai ini pasang pekangnya, pulang yuk!” Pintaku. “Lako gah!”, jawab Pak Ven.
Sampai di rumah dinas sudah agak larut, kira-kira sudah jam setengah 6 sore. “Pak kami terus langsung pulang ya!”, Kata anak-anak. “Iya, dia-dia lako!”, Jawabku. Anak-anak langsung pulang menuju rumahnya masing-masing, sedangkan Pak Ven masih mampir di rumahnya Nenek Bon, rumah di bawah rumah dinasku. Kulihat handphone yang kuletakkan di dekat jendela, agar handphoneku selalu terjangkau oleh sinyal, ternyata ada beberapa sms masuk, salah satunya dari Pak Roni. Beliau memintaku untuk pesiar ke rumahnya bersama-sama dengan Pak Dinus dan Pak Jon. Pak Roni merupakan teman guru yang tempat tinggalnya di Pustu atau Puskesmas Pembantu. Istrinya merupakan bidan di Kampung Wangkal, oleh karena itulah beliau tinggal di Pustu.
Bau obat-obatan tercium dimana-mana, maklumlah rumah seorang bidan. Kulihat ada timbangan badan di bawah tempat tidur periksa pasien, kucoba untuk iseng-iseng menimbang berat badanku. Kaget bukan kepayang ku melihat jarum timbangan menunjukkan angka 60 Kg. “Wah-wah naik sampai sepuluh kilo ini”, pikirku dalam hati. Memang dipikir-pikir juga tidak salah kalau naik sampai 10 Kg. Di Manggarai porsi makannya tidak seperti di Jawa, di sini porsi satu piring sama dengan porsi dua piring ditambah lagi aku sudah 5 bulan di Manggarai. Meskipun aku menolak untuk makan porsi seperti itu, namun orang-orang di sini memaksanya, yamau bagaimana lagi.
Sudah banyak orang di rumah Pak Roni. Seperti biasanya, mereka menungguku untuk menonton film di laptop. Beginilah suasana di malam hari, begitu ramai. Mungkin juga karena kehadiranku di tengah-tengah masyarakat Wangkal. Sambil menonton laptop, makanan juga sudah disiapkan. Saung daeng atau daun singkong merupakan sayur keseharian, namun tetap terasa nikmat meskipun lauk hanya dengan gurus atau cabe manggarai.
Malam sudah begitu larut, mesin diesel yang digunakan untuk menghidupkan listrik juga sudah mati. Kami berpamitandengan keluarganya Pak Roni dan warga untuk kembali ke rumah dinas. Malam ini begitu gelap, bulan bersembunyi diantara kumpulan awan, bintang-bintang juga sedikit yang terlihat. Senter kepala menerangi setiap jalanku menuju rumah dinas, Pak Jon menggunakan senter kecil yang menyatu langsung dengan korek api benzol, sedangkan Pak Dinus hanya mengikuti cahaya dari senter kami. Sesampainya di rumah, Pak Dinus dan Pak Jon langsung tidur. Aku mengambil air wudlu terlebih dahulu di mata air dekat sekolah, sholat merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan bagi setiap umat muslim dimanapun kita berada.
Hari ini merupakan agenda rapat yang membahas tentang O2SN, yaitu Olimpiade Olahraga Siswa Nasional tingkat SD. O2SN akan dilaksanakan dua minggu lagi di SDI Wontong tepatnya tanggal 21-23 Maret 2014 dengan cabang olahraga sepak bola, bulutangkis, voli, takraw, dan atletik. Aku mendapatkan tugas melatih bulutangkis, karena memang olahraga yang paling aku kuasai adalah bulutangkis. Peserta yang bisa ikut yaitu siswa yang umurnya di bawah 12 tahun per 1 Januari 2002. Sebelum latihan rutin aku meyeleksi siapa saja yang dapat bermain bulutangkis dengan baik. Wawan dan Edil yang terpilih  untuk latihanrutin. Wawan mewakili tunggal putra, sedangkan Edil mewakili tunggal putri.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, satu hari sebelum pelaksanaan dimulai, aku diberi tugas untuk
mendampingi anak-anak turun gunung untuk menginap terlebih dahulu di rumah kepala sekolah yang berada di desa Lante. Meskipun jalan kaki anak-anak terlihat begitu bersemangat. Mereka telah siap, siap untuk bertempur di medan perang, bukan medan perang beneran. Medan perangnya adalah di lapangan. Di lapanganlah mereka akan bertempur melawan peserta dari 15 SD yang ada di kecamatan Reok Barat. Sesampainya di rumah Pak Dinus, anak-anak langsung disibukkan dengan urusan dapur, yang perempuan menampi beras, anak laki-lakinya menyiapkan kayu. Sungguh pemandangan langka yang jarang kutemui di jawa, anak sekecil ini sudah mengetahui tugasnya masing-masing tanpa diperintah, terharu sekaligus bangga aku melihatnya.
Mereka harus cepat bergegas untuk tidur, karena besok pagi-pagi harus berangkat ke Wontong dengan menggunakan Otto. Perjalananpun dimulai dengan lagi, mereka terlihat bersorak-sorai gembira. Tidak sabar untuk segera bertanding di medan laga. Aku berangkat duluan dengan menggunakan motor kawasakiku, motor yang dibeli secara patungan dengan teman SM3T penempatan di SDI Nggalak.  Banyak yang harus dipersiapkan di Wontong, dari tempat penginapan anak-anak, dan bahan-bahan makanan yang diperlukan. Oleh karena itu aku harus berangkat terlebih dahulu.
Persiapan di tempat penginapan anak-anak sudah selesai, begitu pula dangan bahan-bahan makanannya. Namun otto yang mengangkut anak-anak belum juga sampai di sini. Selang waktu beberapa menit otto akhirnya sampai juga di Wontong. Semua anak-anak turun dengan penuh semangat. “Hayo barang-barang bawaan jangan sampai ketinggalan di otto”, Aku memberi peringatan kepada anak-anak. Barang bawaan anak-anak segera mereka masukan ke rumah penginapan, kemudian mereka langsung bergegas menuju lapangan untuk mengikuti upaca pembukaan O2SN yang dipimpin langsung oleh Kepala Sekolah SDI Wontong, Pak Gaspar panggilannya. Semua mata tertuju pada Kepala Sekolah SDI Wontong yang sedang memberikan pidato yang berisi dorongan semangat kepada peserta O2SN.
Pertandingan akhirnya dimulai, tempat pertandingan sudah disiapkan untuk setiap jenis pertandingan. Aku mendampingi peserta bulutangkis. Tunggal putra bermain terlebih dahulu, SDI Wangkal berhadapan dengan SDI Nggalak, SD tempat salah satu teman SM3T bertugas. Pertandingan begtu sengit yang akhirnya dimenangkan oleh anak didikku. Selanjutnya tunggal putri, yang berhadapan juga dengan SDI Nggalak. Pertandingan ini juga dimenangkan oleh anak didikku.
Dalam pertandingan bulutangkis, SDI Wangkal mendapat juara 1 tunggal putri yang nantinya akan mewakili Kecamatan Reok Barat untuk pertandingan di Ruteng, sedangkan tunggal putra kalah di pertandingan final melawan SDK Loce. Untuk pertandingan yang lainnya SDI Wangkal belum beruntung. Takraw kalah di final, sepak bola kalah melawan SDI Lemarang, voli tidak tembus, begitu pula atletik. Hanya bulutangkis tunggal putri yang lolos. Hal itu merupakan kebanggaan tersendiri untuk sekolah yang terdapat di daerah pelosok Manggarai ini, sekolah yang begitu terisolir karena akses jalan yang tidak bisa dilewati oleh kendaraan. Namun tidak membuat semangat tunas muda, benih merah putih untuk terus maju dan berkarya meskipun dengan segala kekurangan yang ada. Senyum penuh semangat dari anak-anak ini merupakan inspirasi bagiku untuk terus mangabdi kepada bangsa Indonesia.











 









oleh Angger Yudha Utama, S.Pd
SM3T UM 2013
Daerah penempatan SDI Wangkal
Dsn. Wangkal Ds. Kajong Kec. Reok Barat
Kab. Manggarai NTT Flores