Pertama kali
memasuki kampung ini ada perasaan takut, namun ketakutan itu hilang ketika
melihat wajah anak-anak polos khas anak gunung. Mereka menyambut kedatanganku
penuh antusias dengan logat khas manggarainya. Inilah penempatan tugasku selama
satu tahun ke depan, di SDI Wangkal, Dusun Wangkal, Desa Kajong, Kecamatan Reok
Barat, Kabupaten Manggarai, NTT.
Aku merupakan
sarjana muda yang baru lulus dari sebuah Universitas Negeri di Kota Malang,
dengan segala tekad aku mengikuti program SM3T, sebuah program dari dikti yang
bertujuan untuk pemerataan pendidikan di Indonesia. Banyak teman-teman yang
ditempatkan di pelosok nusantara yang berstatus 3T, yaitu terdepan, terluar,
dan tertinggal.
Ikan
di ikat dua berdua.
Jika
diri hendak selamat,
Turuti
nasehat orang tua.
Mandi
air di Sungai Damar,
Lupa
kain baju di atas batu.
Biar
Pak Yudha sudah di kampung halaman,
Dalam
doa kita tetap jumpa selalu.
Itulah pantun
yang selalu kutanamkan di dalam hatiku, terutama pantun yang pertama. Beliau
bukan orang asli Manggarai, namun orang asli dari Lembata, daerah timur Pulau
Flores. Dengan gaya khas logat Lembata campur bahasa Manggarai dia pandai
membuat orang-orang terhibur bahkan sampai tertawa terbahak-bahak.Teman guru
yang kedua panggilannya Pak Dinus, beliaulah orang yang paling dihormati di SDI
Wangkal, ingin tahu kenapa, karena dia merupakan kepala sekolah. Kepala sekolah
termuda se-Kecamatan Reok Barat, dengan sosok bawaan pendiam dia memimpin dan
mengatur SDI Wangkal. Meskipun terlihat pendiam, \dalam keadaan diam itulah dia
berpikir serius, kedisiplinan menjadi andalan utamanya, sehingga bisa di tebak
siapa yang paling cepat bangun pagi di rumah sekolah ini. Itulah dua guru yang
mengisi keseharianku di rumah dinas sekolah.
Pak Dinus dan
Pak Jon juga tidak setiap satu minggu di rumah dinas sekolah, karena mereka
juga punya keluarga. Setiap hari kamis sore atau jumat sore mereka turun gunung
dan kembali lagi hari senin pagi, sedangkan aku setiap dua minggu sekali turun
gunung pada hari kamis sore untuk melakukan ibadah sholat jumat di Kecamatan Reo. Dalam keadaan seperti ini
dimanfaatkan oleh anak-anak didikku untuk menginap di rumah sekolah. Mereka
selalu memintaku untuk menginap di rumah sekolah, tentunya harus anak laki-laki
yang menginap. Salah satunya adalah anak seorang ketua Lumpung Wangkal, Simon
namanya. Dia seharusnya sudah duduk di bangku SMP, tapi sampai sekarang masih
kelas 4 SD, hmm itulah sakah satu gambaran pendidikan di sini. Hal itu
dikarenakan mereka telat masuk sekolah dasar atau juga kebanyakan tidak naik
kelas.
Di atas rumahku
terdapat rumah yang tidak kalah tua dengan rumahku. Rumah yang reot itu
merupakan rumah teman guru yang mengajar kelas 1 dan kelas 2. Panggilannya Pak
Anton, beliau merupakan sosok yang sederhana lagi bersahaja. Sering aku pesiar
ke rumah Pak Anton untuk sekedar main-main atau minum kopi. Di belakang rumah
reot itu juga terdapat tempat untuk mandi, tempat mandi yang terbuat dari bambu
yang dibelah-belah kecil dan lantainya juga terbuat dari bambu yang dibelah
menjadi dua bagian. Air di tempat mandi ini mengalir terus yang berasal dari
sumber air gunung, di sinilah tempat mandiku sehari-hari.
Pagi ini
merupakan pagi yang cerah di Kampung Wangkal. Burung-burung berkicau di atas
pohon kemiri dengan silih berganti serasa mereka memanggilku untuk segera
bergegas menuju sekolah. “Ah, aku belum mandi dan sarapan, oh iya pagi ini kan
giliran Pak Dinus masak, langsung mandi sajalah”, Pikirku dalam hati. Kita
menggunakan sistem bergilir untuk memasak, aku mendapat jatah memasak setiap
hari Rabu dan Jumat, sedangkan Pak Jon setiap hari Senin dan Selasa. Kalau
mereka tidak ada di rumah akau terpaksa masak sendiri atau numpang ke rumah
tetangga.
Sekolah masih
sepi, anak-anak sudah terbiasa masuk jam setengah delapan, padahal jam masuk
sekolah jam tujuh. Maklumlah di sini merupakan daerah pegunungan, jadi harus
ditempuh dengan jalan kaki. Aku merasa kasihan kepada anak-anak didikku yang
tempat tinggalnya dari kampung sebelah, yaitu Kampung Kalo dan Mbang. Mereka
membutuhkan waktu kira-kira hampir satu jam untuk sampai di sekolah. Aku
sungguh bangga terhadap anak-anak di sini, meskipun jarak yang di tempuh ke
sekolah cukup jauhdengan tiap langkah harus menuruni dan mendaki bukit-bukit,
tetapi semangat mereka untuk memperoleh ilmu sangat luar biasa.
Lonceng sekolah
yang terbuat dari besi tua bekas penyangga atap sekolah telah dibunyikan,
anak-anak mulai bersiap untuk melakukan kegiatan senam pagi. Senam ini namanya
senam SRAI yang kepanjangannya Senam Ria Anak Indonesia. Mereka menyerukan
aba-aba dengan sangat lantang, wajarlah di sini tidak ada listrik di pagi hari
untuk menghidupkan tape.
Senam pagi
telah usai, anak-anak langsung berlarian masuk di kelasnya masing-masing.
“Selamat pagi pak”, Suara salam dari anak-anak dengan keras dan serentak. “ Iya
selamat pagi”, Jawabku. Sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, anak-anak
didikku sudah mengetahui apa yang harus dilakukakan, tidak perlu menunggu
perintah dariku. Marilah kita berdoa, dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus,
amin. Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertaMu terpujilah engkau diantara wanita
dan terpujilah buah tubuhmu Yesus Santa Maria Bunda Allah doakanlah kami yang
berdosa ini sekarang dan pada waktu kami mati. Amin..Doa itu merupakan doa
umat Katholik. Penduduk di sini semua beragama Katholik, kecuali aku. Meskipun
agamaku lain dari penduduk di sini, mereka sangat menghormatiku. Nah, itulah
Indonesia, nilai toleransi antar umat beragama sangatlah dijunjung tinggi.
Dalam kegiatan
belajar di sekolah, siswa haruslah mentaati peraturan yang berlaku, seperti
memakai seragam lengkap, baju seragam dimasukkan ke celana dengan ikat pinggang
melingkar di atas pinggang, dasi harus terpasang di kerah baju, topi juga harus
dipakai waktu di luar ruangan kelas, dan yang terakhir adalah sepatu dan kaos
kaki. Hal itu merupakan pemandangan umum jika kita melihat sekolah-sekolah di
jawa. Namun lain halnya dengan di sini, banyak kulihat anak-anak didikku
memakai seragam yang sudah kumal dan lusuh. Mungkin hampir satu minggu tidak
dicuci, bahkan ada sobekan yang belum dijahit. Ikat pinggang, dasi, dan topi
terasa asing bagi mereka, mereka tidak pernah memakai barang-barang itu,
apalagi sepatu. Di kelasku terlihat semua siswa memakai sandal jepit yang sudah
terlihat kotor terkena lumpur karena hujan tadi malam, tidak sedikit juga yang
tidak memakai sandal jepit, mungkin karena belum punya uang untuk membelinya. Itulah
sekilas pemandangan yang kutemui di kelas IV, tidak jauh berbeda dengan
kelas-kelas yang lain.
Pembelajaran
IPA hari ini aku selingi dengan kuis, anak-anak yang menjawab salah, harus
menyanyi di depan kelas. Kali ini giliran anak didikku yang namanya mirip
sebuah nama acara kontes menyanyi di salah satu stasiun televisi swasta, Avi
namanya. Dengan tubuh kecilnya dia menjawab dengan lantang, “Angin darat pak”,
Jawab Avi. Namun jawabannya masih salah, “Jawaban yang benar adalah angin laut,
Avi”, Jawabku. Untuk hukumannya, maka Avi harus menyanyikan sebuah lagu di
depan kelas. “Menyanyikan lagu apa Avi?”, Tanyaku. “Danong Aku Lako
Pak”, Jawab Avi. Lagu tersebut mempunyai arti nama aku pergi, kisah seorang
yang sedang merantau, lagu ini merupakan lagu asli Manggarai dengan penyanyi
aslinya Rensi Ambang. Walaupun mempunyai tubuh kecil, suaranya terdengar merdu
sekali, tidak kalah dengan peserta kontes menyayi yang ada di televise-televisi.
Sampai juga
akhirnya di bawah jembatan Sungai Damar, setelah mengarungi kelokan-kelokan
sungai yang berbatu. Di sini merupakan tempat berenang yang paling asik, sungai
yang tidak terlalu dalam, tepat sebahu orang dewasa, membuat kita berlama-lama
berenang di sini. “Simon, setelah ini enaknya kita kemana lagi?”, Tanyaku.
“Lihat pande gula malang pak di Sari Om Frans”, jawab Simon.
“Oke, ayo kita ke sana”, Jawabku. Kita akan melihat cara membuat gula merah.
Gula merah ini terbuat dari Nira Pohon Enau atau aren. Kebetulan Om
Frans sedang membuat gula merah di Sarinya. Sari merupakan sebuah
tempat untuk membuat gula merah di Manggarai. Ternyata anak-anak di sini sudah
begitu mahir dalam membuat gula merah, itu kulihat dari Si Gebi, dia sedang
membantu mengaduk-aduk air nira yang sedang di rebus. Bukan hanya pengetahuan
yang di dapat dari sekolah saja yang mereka kuasai, keterampilan-keterampilan
seperti ini ternyata mereka kuasai juga, sungguh luar biasa anak-anak ini,
itupun belum keterampilan-keterampilan yang lainnya lagi. “ Masih lama ya
jadinya ini om?” Tanyaku. “ Ya, masih lama kira-kira 2 jam Pak Yu”, jawab Om
Frans. Proses merebus nira hingga siap untuk masuk ke cetakan memang begitu
lama kira-kira membutuhkan waktu 2 jam.
Hari sudah
menjelang sore, matahari mulai perlahan bersembunyi ke peraduannya. “Om kita pulang
dulu, sudah menjelang sore ini!”, Aku berpamitan ke Om Frans. “Iya Pak Yu, ini
bawa di rumah”, Kata Om Frans. “Wah, terimakasih om”, Jawabku. bersyukur sekali
mendapatkan dua batang gula merah, inilah orang-orang Manggarai. Jika kita
rajin pesiar-pesiar pasti pulangnya mendapatkan buah tangan.
Sampai menuruni
jembatan kita bertemu dengan Pak Ven. Dia merupakan teman guru yang paling muda
diantara guru yang lain, sekarang dia juga masih menempuh gelar S1 nya di salah
satu perguruan tinggi swasta di Ruteng. “Ngoniya ite ko, Pak Ven?”,
Tanyaku dengan bahasa Manggarai. “Ngo Pekang Tuna, Pak Yu mau ikutkah?”
Jawab Pak Ven. “Nia ko?”, Tanyaku balik. “Wa mai jembatan hio”,
jawab Pak Ven balik. “Okelah, aku ikut”, Jawabku dengan senang. Ternyata Pak
Ven akan pergi memancing belut di bawah jembatan. Cara memancingnya tidak
seperti cara memancing ikan seperti pada umumnya, untuk memancing belut harus
menggunakan umpan katak atau cacing besar. Oh iya cacing-cacing di sini
besar-besar lho, besarnya kira-kira sebesar jari manis. Senar dankail yang
digunakan juga agak besar. Peralatan dan umpannya saja besar, apalagi belutnya.
Belut di sini juga besar-besar, yang paling besar kira-kira bisa mencapai paha
orang dewasa. Senar dikaitkan di akar-akar pohon atau bebatuan agar tidak
terbawa arus air. Kita tidak perlu menunggu di tempat mancing. Setelah semua pekang
terpasang, kita tinggal pulang saja, keesokan harinya barulah bisa dilihat
hasinya. “Pak Ven sudah selesai ini pasang pekangnya, pulang yuk!”
Pintaku. “Lako gah!”, jawab Pak Ven.
Sampai di rumah
dinas sudah agak larut, kira-kira sudah jam setengah 6 sore. “Pak kami terus
langsung pulang ya!”, Kata anak-anak. “Iya, dia-dia lako!”, Jawabku.
Anak-anak langsung pulang menuju rumahnya masing-masing, sedangkan Pak Ven masih
mampir di rumahnya Nenek Bon, rumah di bawah rumah dinasku. Kulihat handphone
yang kuletakkan di dekat jendela, agar handphoneku selalu terjangkau oleh
sinyal, ternyata ada beberapa sms masuk, salah satunya dari Pak Roni. Beliau
memintaku untuk pesiar ke rumahnya bersama-sama dengan Pak Dinus dan Pak Jon.
Pak Roni merupakan teman guru yang tempat tinggalnya di Pustu atau Puskesmas
Pembantu. Istrinya merupakan bidan di Kampung Wangkal, oleh karena itulah
beliau tinggal di Pustu.
Bau obat-obatan
tercium dimana-mana, maklumlah rumah seorang bidan. Kulihat ada timbangan badan
di bawah tempat tidur periksa pasien, kucoba untuk iseng-iseng menimbang berat
badanku. Kaget bukan kepayang ku melihat jarum timbangan menunjukkan angka 60
Kg. “Wah-wah naik sampai sepuluh kilo ini”, pikirku dalam hati. Memang
dipikir-pikir juga tidak salah kalau naik sampai 10 Kg. Di Manggarai porsi
makannya tidak seperti di Jawa, di sini porsi satu piring sama dengan porsi dua
piring ditambah lagi aku sudah 5 bulan di Manggarai. Meskipun aku menolak untuk
makan porsi seperti itu, namun orang-orang di sini memaksanya, yamau bagaimana
lagi.
Sudah banyak
orang di rumah Pak Roni. Seperti biasanya, mereka menungguku untuk menonton
film di laptop. Beginilah suasana di malam hari, begitu ramai. Mungkin juga
karena kehadiranku di tengah-tengah masyarakat Wangkal. Sambil menonton laptop,
makanan juga sudah disiapkan. Saung daeng atau daun singkong merupakan
sayur keseharian, namun tetap terasa nikmat meskipun lauk hanya dengan gurus
atau cabe manggarai.
Malam sudah
begitu larut, mesin diesel yang digunakan untuk menghidupkan listrik juga sudah
mati. Kami berpamitandengan keluarganya Pak Roni dan warga untuk kembali ke
rumah dinas. Malam ini begitu gelap, bulan bersembunyi diantara kumpulan awan,
bintang-bintang juga sedikit yang terlihat. Senter kepala menerangi setiap
jalanku menuju rumah dinas, Pak Jon menggunakan senter kecil yang menyatu
langsung dengan korek api benzol, sedangkan Pak Dinus hanya mengikuti cahaya
dari senter kami. Sesampainya di rumah, Pak Dinus dan Pak Jon langsung tidur.
Aku mengambil air wudlu terlebih dahulu di mata air dekat sekolah, sholat merupakan
kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan bagi setiap umat muslim dimanapun kita
berada.
Hari ini
merupakan agenda rapat yang membahas tentang O2SN, yaitu Olimpiade Olahraga
Siswa Nasional tingkat SD. O2SN akan dilaksanakan dua minggu lagi di SDI Wontong
tepatnya tanggal 21-23 Maret 2014 dengan cabang olahraga sepak bola,
bulutangkis, voli, takraw, dan atletik. Aku mendapatkan tugas melatih
bulutangkis, karena memang olahraga yang paling aku kuasai adalah bulutangkis.
Peserta yang bisa ikut yaitu siswa yang umurnya di bawah 12 tahun per 1 Januari
2002. Sebelum latihan rutin aku meyeleksi siapa saja yang dapat bermain
bulutangkis dengan baik. Wawan dan Edil yang terpilih untuk latihanrutin. Wawan mewakili tunggal
putra, sedangkan Edil mewakili tunggal putri.
Persiapan di
tempat penginapan anak-anak sudah selesai, begitu pula dangan bahan-bahan
makanannya. Namun otto yang mengangkut anak-anak belum juga sampai di
sini. Selang waktu beberapa menit otto akhirnya sampai juga di Wontong.
Semua anak-anak turun dengan penuh semangat. “Hayo barang-barang bawaan jangan
sampai ketinggalan di otto”, Aku memberi peringatan kepada anak-anak.
Barang bawaan anak-anak segera mereka masukan ke rumah penginapan, kemudian
mereka langsung bergegas menuju lapangan untuk mengikuti upaca pembukaan O2SN
yang dipimpin langsung oleh Kepala Sekolah SDI Wontong, Pak Gaspar
panggilannya. Semua mata tertuju pada Kepala Sekolah SDI Wontong yang sedang
memberikan pidato yang berisi dorongan semangat kepada peserta O2SN.
Pertandingan
akhirnya dimulai, tempat pertandingan sudah disiapkan untuk setiap jenis
pertandingan. Aku mendampingi peserta bulutangkis. Tunggal putra bermain
terlebih dahulu, SDI Wangkal berhadapan dengan SDI Nggalak, SD tempat salah
satu teman SM3T bertugas. Pertandingan begtu sengit yang akhirnya dimenangkan
oleh anak didikku. Selanjutnya tunggal putri, yang berhadapan juga dengan SDI
Nggalak. Pertandingan ini juga dimenangkan oleh anak didikku.
Dalam
pertandingan bulutangkis, SDI Wangkal mendapat juara 1 tunggal putri yang
nantinya akan mewakili Kecamatan Reok Barat untuk pertandingan di Ruteng,
sedangkan tunggal putra kalah di pertandingan final melawan SDK Loce. Untuk
pertandingan yang lainnya SDI Wangkal belum beruntung. Takraw kalah di final,
sepak bola kalah melawan SDI Lemarang, voli tidak tembus, begitu pula atletik.
Hanya bulutangkis tunggal putri yang lolos. Hal itu merupakan kebanggaan
tersendiri untuk sekolah yang terdapat di daerah pelosok Manggarai ini, sekolah
yang begitu terisolir karena akses jalan yang tidak bisa dilewati oleh
kendaraan. Namun tidak membuat semangat tunas muda, benih merah putih untuk
terus maju dan berkarya meskipun dengan segala kekurangan yang ada. Senyum
penuh semangat dari anak-anak ini merupakan inspirasi bagiku untuk terus
mangabdi kepada bangsa Indonesia.
oleh Angger
Yudha Utama, S.Pd
SM3T UM 2013
Daerah
penempatan SDI Wangkal
Dsn. Wangkal
Ds. Kajong Kec. Reok Barat
Sukses selalu untuk anda yang sudah mengabdikan diri di tanah kelahiranku,jadi terharu,😊😊
BalasHapus